Desyana Tri Utami
28211140
4EB07
I. Etika dalam Auditing
Auditing
adalah suatu proses sistematis dan kritis yang dilakukan oleh pihak yang
independen untuk menghimpun dan mengevaluasi bukti secara obyektif mengenai
asersi-asersi tentang berbagai dan kejadian ekonomi (informasi) dengan tujuan
untuk menetapkan dan melaporkan tingkat kesesuaian antara asersi-asersi
(informasi) tersebut dengan kriteria yang ditetapkan, serta menyampaikan
hasilnya kepada para pemakai yang berkepentingan.
Menurut Arens, Elder, Beasley, dan
Jusuf (2010:4) audiing adalah sebagai berikut: “Auditing is the
accumulation and evaluation of evidence about information to determine
and report on the degree of correspondence between the information and
established criteria. Auditing should be done by a competent, independent
person”.
Artinya auditing adalah
pengumpulan dan penilaian bukti mengenai informasi untuk menentukan dan
melaporkan tingkat kesesuaian antara informasi tersebut dan kriteria yang
ditetapkan. Auditing harus dilakukan oleh orang yang kompeten dan independen.
Etika adalah refleksi dari apa yang disebut dengan “self
control”, karena segala sesuatunya dibuat dan diterapkan dari dan untuk
kepenringan kelompok social (profesi) itu sendiri.
Ponemon
dan Gabhart (1990) menemukan bahwa profesi kognitif etika auditor akan
mempengaruhi independensi auditor. Indenpendensi merupakan isu yang menarik
karena dalam menghadapi konflik independensi auditor perlu untuk
mempertimbangkan aturan eksplisit, standar audit dan kode etik professional.
Seorang
auditor harus taat pada aturan etika yang mengharuskannya bersikap independen,
maka ketika seorang auditor memiliki kecenderungan sifat machivellian tinggi
semakin mungkin untuk bertindak tidak independen. Salah satu penelitian yang
mendukung pernyataan tersebut dilakukan oleh Ponemon dan Gabhart (1990) yang
menyatakan bahwa terdapat hubungan antara pertimbangan etis auditor dengan
penyelesaian konflik independensi.
1.1
Kepercayaan Publik
Kepercayaan
masyarakat umum atas independensi sikap auditor independen sangat penting bagi
perkembangan profesi akuntan publik. Kepercayaan masyarakat akan menurun jika
terbukti bahwa independensi sikap auditor ternyata berkurang, bahkan
kepercayaan masyarakat juga bisa menurun disebabkan keadaan yang oleh mereka
yang berfikiran sehat (reasonable) dianggap dapat mempengaruhi sikap
independensi tersebut.
Kasus
Enron, WorldCom dan kasus jual beli opini oleh auditor BPK di Indonesia menjadi
kasus pelanggaran kode etik yang memalukan bagi profesi akuntan. Dalam kasus
tersebut sangat jelas keterlibatan akuntan dalam pelanggaran etika sehingga
merugikan masyarakat secara luas. Kasus tersebut membuat akuntan menjadi
diragukan profesionalismenya oleh masyarakat. Salah satu upaya mengembalikan
kepercayaan masyarakat dapat dilakukan dengan penerapan secara ketat terhadap
kode etik yang sudah ditetapkan lembaga profesi.
Sebenarnya
kode etik akuntan sangat membantu para anggotanya dalam mencapai kualitas
pekerjaan sebaik-baiknya. Audit yang berkualitas sangat penting untuk menjamin
bahwa profesi akuntan memenuhi tanggungjawab kepada investor, masyarakat umum
dan pemerintah serta pihak-pihak lain yang mengandalkan kredibilitas laporan
keuangan yang telah di audit.
1.2
Tanggung Jawab Auditor Kepada Publik
Profesi
akuntan di dalam masyarakat memiliki peranan yang sangat penting dalam
memelihara berjalannya fungsi bisnis secara tertib dengan menilai kewajaran
dari laporan keuangan yang disajikan oleh perusahaan. Ketergantungan
antara akuntan dengan publik menimbulkan tanggung jawab akuntan terhadap
kepentingan publik.
Dalam
kode etik diungkapkan, akuntan tidak hanya memiliki tanggung jawab terhadap
klien yang membayarnya saja, akan tetapi memiliki tanggung jawab juga terhadap
publik. Kepentingan publik didefinisikan sebagai kepentingan masyarakat dan
institusi yang dilayani secara keseluruhan. Publik akan mengharapkan akuntan
untuk memenuhi tanggung jawabnya dengan integritas, obyektifitas, keseksamaan
profesionalisme, dan kepentingan untuk melayani publik.
Para
akuntan diharapkan memberikan jasa yang berkualitas, mengenakan jasa imbalan
yang pantas, serta menawarkan berbagai jasa dengan tingkat profesionalisme yang
tinggi. Atas kepercayaan publik yang diberikan inilah seorang akuntan harus
secara terus-menerus menunjukkan dedikasinya untuk mencapai profesionalisme
yang tinggi.
Justice
Buger mengungkapkan bahwa akuntan publik yang independen dalam memberikan
laporan penilaian mengenai laporan keuangan perusahaan memandang bahwa tanggung
jawab kepada publik itu melampaui hubungan antara auditor dengan kliennya.
Akuntan publik yang independen memiliki fungsi yang berbeda, tidak hanya patuh
terhadap para kreditur dan pemegang saham saja, akan tetapi berfungsi
sebagai ”a public watchdog function”. Dalam menjalankan fungsi tersebut
seorang akuntan harus mempertahankan independensinya secara keseluruhan di
setiap waktu dan memenuhi kesetiaan terhadap kepentingan publik. Hal ini
membuat konflik kepentingan antara klien dan publik mengenai konfil loyalitas
auditor.
1.3
Tanggung Jawab Dasar Auditor
Auditor merupakan seseorang yang memiliki kualifikasi tertentu dalam
melakukan audit atas laporan keuangan dan kegiatan suatu perusahaan atau
organisasi. The Auditing
Practice Committee, yang merupakan cikal bakal dari Auditing Practices Board,
ditahun 1980, memberikan ringkasan (summary) tanggung jawab dasar auditor :
1.
Perencanaan,
Pengendalian dan Pencatatan
Auditor perlu
merencanakan, mengendalikan dan mencatat pekerjannya.
2.
Sistem
Akuntansi
Auditor harus
mengetahui dengan pasti sistem pencatatan dan pemrosesan transaksi dan menilai
kecukupannya sebagai dasar penyusunan laporan keuangan.
3.
Bukti Audit
Auditor akan
memperoleh bukti audit yang relevan dan reliable untuk memberikan kesimpulan
rasional.
4.
Pengendalian
Intern
Bila auditor berharap
untuk menempatkan kepercayaan pada pengendalian internal, hendaknya memastikan
dan mengevaluasi pengendalian itu dan melakukan compliance test.
5.
Meninjau Ulang
Laporan Keuangan yang Relevan
Auditor
melaksanakan tinjau ulang laporan keuangan yang relevan seperlunya, dalam
hubungannya dengan kesimpulan yang diambil berdasarkan bukti audit lain yang
didapat, dan untuk memberi dasar rasional atas pendapat mengenai laporan
keuangan.
1.4
Independensi Auditor
Arens
dan Loebbecke (1997) mendefinisikan independensi dalam pengauditan sebagai
”pengguna cara pandang yang tidak bias dalam pelaksanaan pengujian audit,
evaluasi hasil pengujian tersebut, dapat pelaporan hasil temuan audit. Selain
itu, Arens dan Loebecke (1997) mengkategorikan independensi kedalam dua aspek,
yaitu independensi dalam kenyataan (independence in fact) dan idependensi dalam
penampilan (independence in appearance). Independensi dalam kenyataan ada
apabila akuntan publik berhasil mempertahankan sikap yang tidak bias selama
audit, sedangkan independensi dalam penampilan adalah hasil persepsi pihak lain
terhadap independensi akuntan publik.
Dalam
menjalankan tugas auditnya, seorang auditor tidak hanya dituntut untuk memiliki
keahlian saja, tetapi juga dituntut untuk bersikap independen. Walaupun seorang
auditor mempunyai keahlian tinggi, tetapi dia tidak independen, maka pengguna
laporan keuangan tidak yakin bahwa informasi yabg disajikan itu kredibel.
Lebih
lanjut independensi juga sangat erat kaitannya dengan hubungan dengan klien,
yang mana hali ini telah dinyatakan dalam keputusan Menteri Keuangan RI no.
423/KMK.02/2008 tentang Jasa Akuntan Publik. Dalam keputusan tersebut
dinyatakan bahwa pemberian jasa audit umum atas laporan keuangan dan suatu
entitas dapat dilakukan oleh Kantor Akuntan Publik paling lama lima tahun buku
berturut-turut dan oleh akuntan publik paling lama untuk tiga tahun buku
berturut-turut.
1.5 Peraturan Pasar Modal dan Regulator Mengenai
Independensi Akuntan Publik
Undang
undang Pasar Modal No. 8 tahun 1995 memberikan pengertian pasar modal yang
lebih spesifik yaitu, “kegiatan yang bersangkutan dengan penawaran umum dan
perdagangan efek, perusahaan publik yang berkaitan dengan efek yang
diterbitkannya, serta lembaga dan profesi yang berkaitan dengan efek”.
Pasar
modal memiliki peran yang sangat besar terhadap perekonomian Indonesia.
institusi yang bertugas untuk melakukan pembinaan, pengaturan, dan pengawasan
sehari-hari kegiatan pasar modal di Indonesia adalah Badan Pengawas Pasar Modal
atau Bapepam.
Dalam
melindungi investor dari ketidakakuratan data atau informasi, Bapepam sebagai
regulator telah mengeluarkan beberapa peraturan yang berhubungan dengan
kereablean data yang disajikan emiten baik dalam laporan tahunan maupun dalam
laporan keuangan emiten. Ketentuan-ketentuan yang telah dikeluarkan oleh
Bapepam antara lain adalah Peraturan Nomor: VIII.A.2/Keputusan Ketua Bapepam
Nomor: Kep-20/PM/2002 tentang Independensi Akuntan yang Memberikan Jasa Audit
Di Pasar Modal.
Ketentuan tersebut memuat hal-hal sebagai
berikut:
1. Jangka waktu Periode Penugasan
Profesional
- Periode
Penugasan Profesional dimulai sejak dimulainya pekerjaan lapangan atau
penandatanganan penugasan, mana yang lebih dahulu.
- Periode
Penugasan Profesional berakhir pada saat tanggal laporan Akuntan atau
pemberitahuan secara tertulis oleh Akuntan atau klien kepada Bapepam bahwa
penugasan telah selesai, mana yang lebih dahulu.
Dalam
memberikan jasa profesional, khususnya dalam memberikan opini atau penilaian, Akuntan
wajib senantiasa mempertahankan sikap independen. Akuntan tidak independen
apabila selama Periode Audit dan selama Periode Penugasan Profesionalnya, baik
Akuntan, Kantor Auditor independen, maupun Orang Dalam Kantor Auditor
independen:
II. Etika dalam Akuntansi Keuangan dan
Akuntansi Manajemen
Peran
etika dalam akuntansi adalah pedoman bagi akuntan untuk mengikuti aturan-aturan
tertentu untuk melakukan pekerjaan akuntansi dengan cara yang adil. This is
just to facilitate the public confidence in their accounting. Ini hanya untuk
memfasilitasi kepercayaan publik dalam akuntansi mereka.
Akuntansi
keuangan untuk keperluan manajemen puncak dan pihak luar organisasi. Produknya:
laporan keuangan. Produk-produk yang sudah dilakuakn
Akuntansi manajmen merupakan tipe akuntasi yang mengolah infromasi keuangan yang terutama untuk memenuhi keperluan manajmeen dalam melaksanakan fungsi perencanaan dan pengendalian organisasi. Produknya: unit cost. Produk-produk yang akan dilakukan.
Akuntansi manajmen merupakan tipe akuntasi yang mengolah infromasi keuangan yang terutama untuk memenuhi keperluan manajmeen dalam melaksanakan fungsi perencanaan dan pengendalian organisasi. Produknya: unit cost. Produk-produk yang akan dilakukan.
Perilaku etis melibatkan
pemilihan tindakan-tindakan yang benar dan sesuai serta tepat. Tingkah laku
kita mungkin benar atau salah, sesuai atau menyimpang, dan keputusan yang kita
buat dapat adil atau berat sebelah. Orang sering berbeda pandangan terhadap
arti istilah etis, tetapi nampaknya terdapat suatu prinsip umum yang mendasari
semua system etika.
Ada 10 nilai inti yang diidentifikasi menghasilkan
prinsip-prinsip yang melukiskan benar dan salah dalam kerangka umum, yaitu :
-
Kejujuran
(honesty)
-
Integritas
(integrity)
-
Memegang janji
(promise keeping)
-
Kesetiaan
(fidelity)
-
Keadilan
(fairness)
-
Kepedulian
terhadap sesama (caring for others)
-
Penghargaan
kepada orang lain (respect for others)
-
Kewarganegaraan
dan bertanggung jawab (responsible citizenship)
-
Pencapaian
kesempurnaan (pursuir of excellence)
-
Akuntabilitas
(accountibillity)
-
IMA (Instititute of
Management Accountants) mengeluarkan pernyataan
tentang standar perilaku etis akuntan manajemen. Standar tersebut adalah
sebagai berikut:
1.
Kompetensi
Akuntan manajemen bertanggungjawab untuk:
a)
Menjaga tingkat
kompetensi professional yang dimiliki dengan terus menerus mengembangkan
pengetahuan dan keahliannya.
b)
Melakukan tugas-tugas
profesionalnya sesuai dengan hokum, peraturan, dan standar teknis yang berlaku.
c)
Menyusun laporan dan
rekomendasi yang lengkap serta jelas setelah melakukan analisis yang benar
terhadap informasi yang relevan dan dapat dipercaya.
2.
Kerahasiaan
Akuntan manajemen bertanggungjawab untuk :
a)
Tidak membocorkan
informasi rahasia tanpa ijin, kecuali diharuskan secara hukum.
b)
Memberi tahu bawahan
seperlunya dan memonitor aktivitas mereka untuk menjaga kerahasian tersebut.
3.
Integritas
Akuntan
manajemen bertanggungjawab untuk :
a)
Menghindari
konflik kepentingan actual.
b)
Menahan diri dari
aktivitas yang akan menimbulkan kecurigaan terhadap kemampuan mereka untuk
melakukam tugasnya secara etis.
c)
Menolak pemberian,
penghargaan, dan keramah-tamahan yang
dapat mempengaruhi mereka dalam bertugas.
d)
Menahan diri untuk tidak
melakukan penggerogotan terhadap legitimasi organisasi dan tujuan-tujuan etis,
baik secara aktif maupun pasif.
e)
Mengkomunikasikan
berbagai batasan profesional
f)
Mengkomunikasikan
informasi yang baik atau buruk dan
penilaian atau opini professional.
4.
Objektivitas
Akuntan manajemen bertanggungjawab untuk :
a)
Mengkomunikasikan
informasi dengan adil dan objektif
b)
Mengungkapkan semua
informasi yang relevan dan dapat diharapkan mempengaruhi pemahaman pengguna
terhadap laporan, komentar, dan rekomendasi yang dikeluarkan.
5.
Resolusi
konflik etika
Dalam pelaksanaan
standar perilaku etis, akuntan manajemen mungkin menghadapi masalah dalam
mengidentifikasi perilaku yang tidak etis atau dalam menyelesaikan konflik
etika. Ketika menghadapi isu-isu etika
yang penting, akuntan manajemen harus mengikuti kebijakan yang ditetapkan
organisasi dalam mengatasi konflik. Jika kebijakan ini tidak menyelesaikan
konflik etika, akuntan manajemen harus mempertimbangkan tindakan berikut ini :
a)
Mendiskusikan masalah
tersebut dengan supervisor kecuali jika masalah tersebut melibatkan atasannya.
b)
Menjelaskan
konsep-konsep yang relevan melalui
diskusi rahasia dengan seorang penasihat yang objective untuk mencapai
pemahaman terhadap tindakan yang mungkin dilakukan.
c)
Jika konflik etika masih
ada setelah dilakukan tindakan terhadap semua jenjang, akuntan manajemen
mungkin tidak mempunyai jalan lain kecuali mengundurkan diri dari organisasi
dan memberikan memo yang informative kepada perwakilan organisasi yang
ditunjuk.
d)
Kecuali diperintah
secara hukum, mengkomunikasikan masalah tersebut kepada berbagai otoritas atau
individu yang tidak ada hubungan dengan organisasi bukanlah pertimbangan yang
tepat.
e)
2.1 Tanggung
Jawab Akuntan Pajak
Akuntan pajak mempunyai tanggung
jawab terhadap pelaksanaan pembayaran pajak oleh wajib pajak. Lingkup
pekerjaannya adalah memeriksa apakah wajib pajak telah benar memberikan
pajaknya sesuai dengan prosedur dan hukum yang berlaku.
Tanggung
jawab utama praktisi pajak adalah sistem pajak. Suatu sistem pajak
yang baik dan kuat harus terdiri dari entitas administrasi pajak, kongres,
administrasi dan komunitas praktisi. Selain itu ketika secara umum
menyetujui bahwa praktisi pajak mempunyai kewajiban atas
kemampuan, loyalitas dan kerahasiaan klien, hal ini disebut juga tanggung
jawab praktisi atas sistem pajak yang baik.
Dalam
hubungan antara praktisi dan klien yang normal, kedua tanggung jawab dikenali
dan dilaksanakan. Namun, situasi ini sulit. Dalam beberapa situasi praktisi
diperlukan untuk memutuskan kewajiban yang berlaku dan dalam pelaksanaannya
dapat disimpulkan bahwa kewajiban atas sistem pajak yang tertinggi. Praktisi
pajak membantu dalam mengatur hukum pajak dengan jujur dan adil dalam pelayanan
dan pengembangan kepercayaan klien dalam integritas dan kepatuhan terhadap
sistem pajak.
Praktisi
lebih baik melayani publik dengan mengadopsi suatu sikap. Aturan etika yang
fundamental dalam praktik perpajakan pada tingkat etika personal adalah
praktisi pajak harus mengijinkan klien untuk membuat keputusan final. Disamping
itu praktisi harus bertanggung jawab tidak menyediakan informasi yang salah
untuk pemerintah.
2.2 Etika
Akuntan Pajak
Konsultan Pajak adalah setiap orang
yang dengan keahliannya dan dalam lingkungan pekerjaannya, secara bebas dan
profesional memberikan jasa perpajakan kepada Wajib Pajak dalam melaksanakan
hak dan memenuhi kewajiban perpajakannya sesuai dengan peraturan
perundang-undangan perpajakan.
AICPA STATEMENTS ON RESPONSIBILITIES IN TAX
SERVICES
Dalam
kaitannya dengan etika akuntan pajak, AICPA mengeluarkan Statemet on
Responsibilities in Tax Practice (SRTP). Adapun isinya adalah sebagai berikut:
1. Statement on Responsibilities in
Tax Services No. 1, Tax Return Positions (Posisi Pengembalian Pajak)
Statemen
ini menetapkan standar masa depan yang bisa diterapkan untuk anggota
ketika merekomendasikan tingkat pengembalian pajak dan menyiapkan atau
menandatangani surat pembayaran pajak (termasuk klaim untuk lebih bayar) yang
disimpan dengan mengenakan pajak otoritas. Karena tujuan standar ini, suatu
wajib pajak adalah klien, pemberi kerja, atau pihak ketiga lain penerima jasa
pajak.
2. Statement on Responsibilities in
Tax Services No. 2, Answers to Questions on Returns (Jawaban Pertanyaan
atas Pengembalian)
Statemen
Ini menetapkan standar yang bisa diterapkan untuk anggota ketika menandatangani
suatu pajak kembalian jika atau mempertanyakan kelebihan pajak kembalian.
Istilah questionsincludes meminta informasi untuk pajak kembalian di dalam
perusahaan. Instruksi, atau di dalam peraturan, ya atau tidaknya dinyatakan
format suatu pertanyaan.
3. Statement on Responsibilities in
Tax Services No. 3, Certain Procedural Aspects of Preparing Returns (Aspek
prosedur tertentu dalam menyiapkan Pengembalian)
Dalam
menyiapkan atau menandatangani suatu pajak kembalian, suatu anggota dengan hati
jujur boleh mempercayakan, tanpa verifikasi, atas informasi yang
diberikan oleh wajib pajak atau dengan pihak ketiga. Bagaimanapun, suatu
anggota mestinya tidak mengabaikan tentang implikasi yang melengkapi informasi
tersebut dan perlu membuat pemeriksaan yang layak jika informasi nampak seperti
ada kesalahan, tidak sempurna, atau plin-plan baik di bagian depannya atau atas
dasar lain fakta tidak diketahui oleh suatu anggota.
Ketika
menyiapkan suatu kembalian pajak, suatu anggota perlu mempertimbangkan
informasi yang benar dari pajak kembalian wajib pajak lain jika informasi
berkait dengan pajak kembalian dan pertimbangannya pajak kembalian itu. Di
dalam menggunakan informasi seperti itu, suatu anggota perlu mempertimbangkan
batasan-batasan yang dikenakan oleh hukum atau aturan manapun yang berkenaan
dengan kerahasiaan.
4. Statement on Responsibilities in
Tax Services No. 4, Use of Estimates (Penggunaan Estimasi)
Kecuali
jika yang dilarang oleh undang-undang atau menurut peraturan, suatu anggota
boleh menggunakan taxpayer’s untuk menaksir persiapan suatu pajak kembalian
jika itu bukanlah praktis untuk memperoleh data tepat dan jika anggota
menentukan bahwa perkiraan yang layak adalah didasarkan pada keadaan dan fakta
saat itu yang diperlihatkan kepada anggota. Jika perkiraan dengan taxpayer’s
digunakan, mereka harus diperlihatkan dengan suatu cara yang tidak menyiratkan
ketelitian lebih besar disbanding yang ada.
5. Statement on Responsibilities in
Tax Services No. 5, Departure From a Position Previously Concluded in an
Administrative Proceeding or Court Decision (Keberangkatan dari suatu
posisi yang sebelumnya disampaikan di dalam suatu kelanjutan administrative
atau keputusan pengadilan)
Pajak Kembalian berkenaan dengan memposisikan
suatu item ketika ditentukan di dalam suatu kelanjutan administratif atau
keputusan pengadilan/lingkungan tidak membatasi suatu anggota merekomendasikan
dari suatu pajak yang berbeda, kemudian memposisikannya kembali, kecuali jika
wajib pajak dalam pemeriksaan. Oleh karena itu, ketika disiapkan dalam bentuk
Statement onResponsibilities in Tax Services No.1, pajak kembalian diposisikan,
anggota boleh merekomendasikan sebuah pajak kembalian untuk memposisikan atau
menyiapkan suatu pajak kembalian yang memerlukan pemeriksaan dari suatu item
ketika disimpulkan untuk suatu kelanjutan administratif atau meramahi keputusan
berkenaan dengan suatu kembali wajib pajak.
6. Statement on Responsibilities in
Tax Services No. 6, Knowledge of Error: Return Preparation(Pengetahuan
Kesalahan: Persiapan Kembalian)
Suatu
anggota perlu menginformasikan kepada wajib pajak dengan segera atas suatu
kesalahan di dalam suatu pajak kembalian yang disimpan atau ketika sadar
akan kegaalan suatu taxpayer’s untuk memfile suatu kembalian yang
diperlukan. Seorang anggota perlu merekomendasikan ukuran yang diambil untuk
melakukan koreksi, seperti rekomendasi yang diberi dengan lisan. Anggota
tidaklah diwajibkan untuk menginformasikannya untuk mengenakan pajak otoritas,
dan suatu anggota tidak boleh melakukannya tanpa ijintaxpayer’s, kecuali ketika
yang diperlukan di depan hukum.
7. Statement on Responsibilities in
Tax Services No. 7, Knowledge of Error: Administrative
Proceedings (Pengetahuan Kesalahan: Cara kerja administrasi)
Jika
suatu anggota sedang mewakili suatu wajib pajak di dalam administratifnya untuk
suatu kembalian yang berisi suatu kesalahan, maka anggota perlu
menginformasikannya kepada wajib pajak itu. Anggota perlu merekomendasikan
ukuran yang akan diambil untuk mengoreksinya, yang mungkin diberi dengan lisan.
Suatu anggota bukan diwajibkan untuk menginformasikan hal itu mengenakan pajak
otoritas maupun mengijinkan untuk melakukannya tanpa ijin tax payer’s, kecuali
jika yang diperlukan di depan hukum. Suatu anggota perlu meminta persetujuan
tax payer’s untuk menyingkapkan kesalahan kepada pajak authority.
8. Statement on Responsibilities in
Tax Services No. 8, Form and Content of Advice to Taxpayers(Format dan isi
nasihat pada klien)
Suatu
anggota perlu menggunakan pertimbangan untuk memastikan bahwa petunjuk pajak
yang disajikan ke suatu wajib pajak mencerminkan kemampuan/ wewenang
profesional dan sewajarnya melayani kebutuhan taxpayer’s. Suatu anggota
tidaklah diperlukan untuk mengikuti suatu bentuk standar atau petunjuk dalam
berkomunikasi lisan atau tertulisdalam memberi petunjuk kepada suatu wajib
pajak. Suatu anggota perlu berasumsi bahwa petunjuk pajak yang disajikan ke
suatu wajib pajak akan mempengaruhi cara di mana berbagai hal atau transaksi
yang akan dipertimbangkan.
2.3 Kompleksitas
Aturan Perpajakan vs Tuntutan Klien
Dalam perpajakan, pajak
secara klasik memiliki dua fungsi yaitu:
1.
Fungsi
Budgeter
Suatu fungsi dalam mana pajak
dipergunakan sebagai alat untuk memasukan dana secara optimal ke kas Negara
berdasarkan undang – undang perpajakan yang berlaku.
2.
Fungsi
Regulerend
Pajak
berfungsi sebagai alat yang digunakan pemerintah untuk mencapai tujuan
tertentu.
Berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945
pasal 23 ayat 2, disebutkan bahwa “segala pajak untuk keperluan negara
berdasarkan undang-undang.” Dari hal tersebut dapat disimpulkan bahwa pajak memiliki
fungsi yang luas antara lain sebagai sumber pendapatan negara yang utama,
pengatur kegiatan ekonomi,pemerataan pendapatan masyarakat, dan sebagai sarana
stabilisasi ekonomi.
Dalam
struktur anggaran negara, seperti halnya negara kita bisa mencapai 75%
diperoleh dari pajak. Kondisi inilah yang memicu pemerintah untuk membuat
aturan-aturan perpajakan.Aturan perpajakan merupakan masalah yang sebaiknya
menjadi prioritas bagi pemerintah supaya tidak terjadi tax evasion/tax
avoidance.
Berikut
ini disajikan kasus yang mencerminkan kompleksitas aturan perpajakan vs
tuntutan klien:
1. Jeratan Pajak Ganda pada Dividen
Secara
teori Indonesia menganut klasikal sistem. Artinya, ada pembedaan subyek pajak
yaitu subyek pajak badan dan subjek pajak perseorangan. Masalah dalam
pajak deviden adalah terjadi economic double taxation. Arttinya sebelum dividen
dibagi kepada pengusaha, dia merupakan laba perusahaan yang dikenakan pajak,
atau disebut pajak korporat. Namun, ketika dibagi lagi kepada pemegang
saham di korporat, pemegang saham itu harus dikenakan pajak lagi. Inilah yang
disebut sebagai pajak ganda.
2. Sengketa Pajak
Dispute,merupakan
hitungan wajib pajak (WP) dengan petugas pajak berbeda. Pada UU KUP 2000
kewenangan aparat Fiscus terlalu luas. Jika terjadi sengketa SPT, maka apapun
yang akan dipakai adalah hitungan aparat pajak, dan hitungan itu harus dibayar
lebih dahulu oleh WP sebesar 50 persen dari hitungan petugas pajak sebelum bisa
dibawa kepada pengadilan pajak. Jika hitungan WP yang dinyatakan pengadilan
benar maka WP berhak menerima restitusi. Jika uang restitusi jumlahnya milyaran
jelas saja mengganggu cash flow para pengusaha. Inilah persoalan yang menjadi
momok dalam dispute antara WP dengan aparat pajak.Untungnya, dalam UU KUP
28/2007 perhitungan SPT ditentukan secara bersama-sama.Jika ada
perbedaan klaim angka, maka yang lebih dahulu dipakai adalah klaim WP.Sebelum
masuk ke pengadilan pajak, WP hanya cukup membayar sebesar 50 persen dari klaim
hitungan WP sendiri.
3. Tarif Pajak yang tinggi
Ketua
Tax Centre UI, Tafsir Nurchamid dan pengusaha Anton J Supit mengatakan bahwa
tarif yang tinggi kalau diturunkan punya dampak pada seretnya penerimaan
negara. Padahal disaat yang sama pendapatan negara itu sebagian besar ditujukan
untuk membayar hutang dan obligasi rekap.
Meskipun
semestinya menurut Anton J Supit penerimaan dari pajak itu digunakan untuk
membangun infrastruktur. Banyak kalangan perpajakan seperti Permana Agung,
Gunadi, dan Haula Rusdiana mengatakan sebaiknya ada kebijakan untuk membuat
tarif menjadi lebih rendah. Selain lebih kompetitif bagi dunia usaha, pajak
yang rendah dianggap justru akan meningkatkan penerimaan negara karena semakin
banyaknya potensi pajak yang terjaring.
Sumber:
1. Arens, A.A., dan J.K Loebbecke.
(1997). Auditing, Buku Dua. Diterjemahkan oleh Amir Abadi Jusuf .
Salemba Empat, Jakarta.
2. Badjuri Achmad. Peranan Etika
Akuntan Terhadap Pelaksanaan Fraud Audit No 3 vol 9.Desember, 2010.
3. Duska, Ronald F. dan Brenda S.
Duska. 2005. Foundation of Business Ethics, Accounting Ethics. Blackwell
Publishing.
4. Elder, J, Mark S.
Beasley, dkk. 2012. Jasa
Audit dan Assurance: Pendekatan Terpadu (Adaptasi Indonesia). Jakarta:
Salemba Empat
5. Enjel Boni. Hubungan Antara
Penerapan Aturan Etika Dengan Peningkatan Profesionalisme Auditor Internal.
Bandung. 2006
6. Flemming, Poulflet.
1997. Ethics for Management Consultant. A European Review, Business
Ethics. Volume 6, Number 2, April 1997. p. 65-71.
7. Nasution Istianah. Pengaruh
Karakteristik Personal Auditor, Etika Audit dan Pengalaman Tingkat Penyimpangan
Perilaku dalam Audit. Jakarta. 2013
8. http://ebookask.com/et/etika-profesi-dalam-akuntansi-pdf.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar