Dalam sebuah
hadist Qudsi yang cukup panjang, menggelitik hati kita. Alangkah baiknya jika
kita simak:
Aku (Allah)
heran terhadap orang yang yakin akan datangnya kematian tetapi ia masih
membanggakan diri ?
Aku heran
terhadap orang yang yakin dengan hari perhitungan (hisab), kenapa ia masih
sibuk menimbun harta benda?
Aku heran
terhadap orang yang yakin akan masuk pintu kubur, kenapa mereka masih tertawa
terbahak bahak?
Aku heran
terhadap orang yang yakin terhadap hari akhirat, kenapa mereka masih bersenang
senang dan lalai tidak beramal?
Aku heran terhadap orang yang yakin akan lenyapnya dunia ini, kenapa dia masih
menambatkan hati kepadanya?
Aku heran
terhadap orang alim yang pintar bicara tetapi bodoh dalam paham pengertian.
Aku heran
terhadap orang yang sibuk menyelidiki aib orang lain, tetapi lupa cacat/cela
dirinya sendiri.
Aku heran
terhadap orang yang tahu bahwa Allah memperhatikan tingkah lakunya, mengapa ia
masih durhaka kepada Allah?
Aku heran
terhadap orang yang mengerti bahwa ia akan mati sendirian dan masuk kubur
sendirian, kenapa ia masih asyik bersenda gurau dengan orang banyak?
Tidak ada
Tuhan yang berhak disembah melainkan Allah, Muhammad itu benar benar hamba Ku
dan rasulKu
Diakui atau
tidak, banyak orang yang tidak sempat mengadakan perenungan. Dengan kesibukan
yang padat, rasanya sulit mencari waktu yang tepat untuk berpikir mendalam.
Hari hari hanya diisi dengan kerja dan kerja. Seakan semua waktu dalam hidup
ini habis sekadar untuk mencari nafkah. Kesibukan seperti ini sudah menjadi
ciri atau malah menjadi bagian dari kehidupan modern.
Malam hari
yang semestinya waktu paling cocok untuk melakukan perenungan ternyata juga
tersita untuk sekedar urusan dunia. Malam, utamanya dikota kota besar tidak
lagi ada bedanya dengan siang, Tetap ramai, tetap sibuk. Lampu lampu kota kini
telah menjadi ‘pengganti’ matahari. Malam pun tetap terang benderang, Itulah
sebabnya kemudian bermunculan manusia ‘kelelawar’ yang jadwal hidupnya justru
terbalik, Di siang hari mereka tidur, malam hari mulai menampakkan tanda tanda
kehidupannya bekerja. Tentu saja hal ini menyalahi sunnah, menyelisih fitrah.
Firman
Allah,”Dialah yang menjadikan untukmu malam (sebagai) pakaian, dan tidur untuk
istirahat, dan Dia menjadikan siang untuk bangun berusaha.” (QS Al Furdan 47 ).
Karena manusia sudah merasa tidak lagi cukup waktunya untuk mencari kehidupan
di siang hari saja, maka malam harinya mereka gunakan juga untuk bekerja.
Akibatnya jam istirahat berkurang. Apalagi jam untuk tafakkur, mengadakan
perenungan, muhasabah (menghitung diri), muroqobah (mendekatkan diri pada
Allah), hampir tiada lagi sama sekali. Jangankan shalat malam, sedang shalat
Isya saja dikerjakan sambil ngantuk, pikirannya masih tertuju pada lain yang
sifatnya keduniaan. Apalagi disaat shalat, TV tidak dimatikan, sebab anak istri
sedang menonton, Bagaimana bisa khusyu’ sedang ingat bacaannya sudah kesulitan.
Terlebih kini semakin banyak saja acara yang menarik, yang melalaikan manusia
dari memikirkan arti hidupnya sendiri. Semestinya sebelum pergi tidur
diluangkan waktu sejenak untuk berzikir. Kalau bisa, shalat dua rakaat. Kalau
masih bisa, baca Al Qur’an minimal tiga surat terakhir atau tiga Qul, yaitu Qul
Huwallahu ahad, Qul a’udzubirabbil falaq, dan Qul a’udzu birabbinnas, lalu
ditutup dengan do’a tidur. Tapi alangkah banyaknya orang yang pergi tidur tanpa
sengaja. Sambil menonton TV keterusan. Lupa berzikir, lupa shalat, lupa berdo’a
ataupun mengadakan perenungan. Malah mengatur posisi tidurnya saja tidak sempat
untuk bangun tengah malam apalagi.
Kurangnya
mengadakan perenungan berakibat sangat fatal, Manusia tak lagi mengerti untuk
apa mereka bekerja. Mereka bekerja sekedar untuk mencari harta. Setelah harta
didapat digunakan sekenanya. Tidak ada waktu lagi untuk berfikir, darimana
harta didapat.
Tidak ada kesempatan untuk merenung, apakah yang lain juga mendapat, Tak juga
sempat menilai, halal atau haram pendapatannya dan sebaliknya digunakan untuk
apa saja itu semua. Dalam benaknya hanya ada satu pikiran, pokoknya saya dapat.
Mestinya berfikir, darimana didapat, dan kemana dibelanjakan. Orang yang sudah
pada taraf seperti ini hidupnya hanyalah sekedar untuk memenuhi hidup. Mereka
bekerja, berjuang, berkorban, berdamai dan berperang, hanya untuk hidup, bahkan
mereka mempertaruhkan hidupnya sekedar untuk hidup.
Mereka ini
disindir Allah dalam firman Nya ”Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk isi neraka
Jahannam kebanyakan dari jin dan manusia. Mereka mempunyai hati, tetapi tidak
dipergunakannya untuk memahami ayat ayat Allah. Mereka mempunyai mata, tetapi
tidak dimanfaatkan untuk melihat tanda tanda kebesaran Allah, mereka mempunyai
telinga, tapi tidak dipakai untuk mendengar ayat ayat Allah. Mereka itu bagai
binatang ternak, bahkan lebih sesat lagi, Mereka itulah orang orang yang
lalai,” (QS Al A’raaf: 179 ).
Telinga
mereka berlubang dan bisa mendengar, tapi tidak mau mendengarkan nasehat,
anjuran, perintah dan larangan Dzat yang menciptakan telinga. Inilah yang
disebut telinga pasif oleh Allah. Bukan berarti telinga ini tak aktif terhadap
yang lain. Begitu musik disetel, nyanyian diperdengarkan, fitnah digunjingkan,
telinga itu menjadi normal kembali, Mata mereka juga melek, tapi untuk membaca
kalimat Allah mata itu menjadi rabun, malah buta sama sekali, Berbeda bila
melihat lenggak lenggok artis, baik di pentas terbuka maupun di layar televisi,
mata itu tiba tiba jernih, sejernih kaca TV. Mereka juga punya hati, tapi
sekedar gumpalan daging yang terbalut rongga dada, Hati yang
berupa qolb tak lagi mereka punyai, paling tidak sudah lama tak terpakai.
Usang, sulit dicari. Jika harus diaktifkan, masih perlu dibersihkan, diservis,
bahkan mungkin dibongkar pasang dulu.
“Sesungguhnya
pendengaran, penglihatan, dan hati, semuanya itu akan dimintai
pertanggungjawabannya.” kata Allah dalam surah Al –israa’ 36.
Sebelum hari pertanggungjawaban itu, sebaiknya kita memanfaatkanya untuk
merenung, adakah ketiga tiganya sudah berfungsi sebagaimana yang diharapkan
oleh Yang Menciptakan? Atau kita masih beralasan, belum ada waktu untuk
merenungkan?
Hadist Qudsi
di atas adalah ajakan kepada kita untuk merenungkan sejenak arti hidup kita di
dunia ini. Jelas sekali bahwa Allah tidak heran kepada manusia, sebab Dia
sendiri yang menciptakan, Redaksi hadist ini dibuat sedemikian rupa, agar lebih
komunikatif, agar mudah dicerna dan difahami. Lebih penting lagi, agar mudah
menyentuh hati. Soal sentuh menyentuh hati ini bukan perkara sederhana, apalagi
untuk ukuran sekarang ini. Bukan Mayat Berjalan orang hidup yang lupa
mempersiapkan untuk hari esok, disindir oleh Nabi Muhammad Saw seperti mayat
hidup yang sedang berjalan. Artinya, fisiknya hidup, tetapi hatinya telah mati.
Orang yang
hatinya mati, bisa kita lihat dari berbagai tanda, Misalnya, mereka tidak
peduli ada peringatan Allah atau tidak, Mereka tenang saja melenggang bahkan
berjalan dengan sombong di muka bumi. Seolah dia akan bisa hidup selamanya,
Orang yang hatinya mati, sering kali tidak bergetar mendengar nama Allah
disebut, dan tidak bergeming meski dibacakan ayat ayat Allah. Baginya semua itu
seperti tidak ada kaitan sama sekali dengan masa depan, yaitu masa depan yang
begitu abadi. Orang yang hatinya mati, tidak pernah merasa bersalah meski tiap
hari melanggar aturan Allah. Dia mengira tak ada orang lain yang tahu, dan
dikiranya Allah tidak melihatnya. Jika berbuat maksiat, ukurannya hanya dirinya
dan orang lain. Sepanjang dirinya suka, dan orang lain tidak melihatnya, dengan
serta merta melakukannya. Dan masih banyak lagi tanda tanda orang yang hatinya
telah mati. Maka kita hendaknya selalu ingat bahwa diri kita ini bukan mayat
sedang berjalan, kita ini memang benar benar hidup sehingga harus mengisi
lintasan kehidupan ini dengan penuh perhitungan matang. Kita dengan sadar
melangkahkan kaki ke tujuan yang baik, Dengan sadar mengayunkan tangan ke arah
yang benar. Kita buka tutup lisan kita dengan kalimat yang baik, benar, dan
menyenangkan.
Orang yang
jiwanya hidup, perilakunya terkontrol. Hidupnya dinamis, dan dia mempunyai
standar dalam mengukur dirinya, Jika merasa salah, maka segera minta ampun, dan
jika dirasakan benar, tidak menyombongkan diri. Tidak ada kata terlambat untuk
mengubah arah jarum jam kehidupan ini, Kalau selama ini dirasakan arahnya
salah, maka segera putar dengan penuh kesadaran ke arah yang benar. Niat dan
tekad mendalam untuk menjadi manusia baik hendaknya selalu ditumbuhkan setiap
kali bangun tidur. Dan meminta ampun dari segala salah dan khilaf disaat akan
tidur. Bisakah?